Dan Kotak itu Bernama TV

Sebuah tulisan muncul di kala kebuntuan mengerjakan skripsi. Setelah kemarin senin S K A K M A T T oleh berbagai komentar dari dosen pembimbing. Dimulai dari sistematika penulisan laporan hingga penalaran logika yang tidak sesuai nalar.

Heuheuheu,

Nampak sulit memang kalo sudah bergunjing dengan logika, penalaran, filsafat, aliran, dan lain-lain. tapi entah mengapa koleksi buku yang saya punya malah kebanyakan ada keterkaitan dengan filsafat dan pikiran rasional manusia. Heran juga padahal kelakuan saya tidak mencerminkan seorang filsuf.

Oke balik lagih ke
TV, beberapa hari lalu teman bermain dan bersenang-senang di kampus mengungkapkan keinginannya kepada saya untuk menjual beberapa barang kos-nya. Karena dia akan kembali ke kampung asal, jadilah barang-barang yang di ‘koleksi’ selama di Bandung akan dijualnya, maklum kosan kami belum termasuk perabotan ala anak kosan.
Dan dia menanyakan,
“Da, si teh asti (anak ibu kos) mau
TV gw tadi si ibu bilang, kira-kira berapa ya?”.
“hah!
TV, bukannya si ibu udah punya 3 terus anaknya juga udah punya TV yang layar datar lagih”, jawab saya.
“buat cucunya si Gani”.
“Busyet !!! banyak amat”.

Begitulah salah satu fenomena yang terjadi,
TV telah berevolusi menjadi suatu kebutuhan yang menjadi privasi bagi individu. TV bukan lagi menjadi alat sosialisasi dalam keluarga (dalam kasus ini). TV menjadi hal yang wajib, harus, dan mutlak dipenuhi. Menyedihkan kalo kata saya, jika seorang anak berumur 5 tahun tumbuh dan berkembang melalui TV tanpa bimbingan orang tua.

Bukan mencoba memungkiri namun saya juga merupakan salah satu generasi yang dibesarkan oleh
TV, tapi makin dewasa kok rasanya saya makin sadar kalo TV malah ‘sampah’ isinya. Programnya makin lama makin jauh dari kata bermutu. Sekalipun dakwah (soalnya pernah liat dakwah di salah stasiun TV yang lebaii). Jujur saja ketika menekan tombol power di TV, saya hanya memindahkan channel dan kurang dari 10 menit mematikannya. Sekarang di kosan saya pun tidak ada TV, karena percuma juga hanya menjadi seonggok kotak yang terdiam tanpa di’mainkan’ oleh pemiliknya.

Saya bukannya tidak menonton
TV, namun secara tidak langsung dengan mendownload film-film, serial, variety show dari Amerika dan Korea, berarti saya juga menonton TV. Saya tahu sekali, bahwa program-program tersebut juga disebut ‘sampah’ di negara asalnya. Dengan kata lain, saya juga menonton ‘sampah’ dari TV luar. Tapi saya berdalih mempelajari bahasa, budaya, serta tradisi negara tersebut melalui tayangannya. :PPP

Categories:

Leave a Reply