12 Tahun Lalu (Sebuah Cerita Remaja dan Supir Angkot)

12 tahun lalu, ketika itu aku masih muda, belia, dan memesona siapa saja yang lewat di hadapan. Dengan mengenakan seragam putih biru. Seragam kebesaran yang kukenakan setiap pagi, ya setiap pagi. Mungkin gak setiap pagi juga karena biasanya jumat pakai batik dan sabtu pakai baju pramuka. Kemudian minggu pakai kaos dan celana pendek karena memang tidak ada kegiatan. Eh setahun sebelumnya aku ikut Palang Merah Remaja, entahlah apakah hingga saat ini organisasi tersebut terus berdiri. Biasanya memakai kaos putih (karena gak ada kaos putih polos maka aku memakai kaos yang ada gambar Mickey Mouse-nya) dan jeans. Harusnya memang ada seragam PMR, entah kenapa dari dulu sudah pesan ke kakak senior bilangnya belum ada terus. Sementara cowok-cowok lain ada. Sebal!
12 tahun lalu, setiap pagi ku kayuhkan langkah kaki berjalan dari rumah menuju depan kompleks rumah yang jaraknya sekitar 500 meter (mungkin, karena aku tidak terlalu pandai matematika). Kemudian kusambung dengan angkutan kota berwarna oranye buluk atau merah bata. Ternyata angkutan kota ini tidak langsung membawaku ke depan pintu gerbang sekolah, hanya sebuah transit untuk menaiki angkutan yang lainnya. Butuh waktu sekitar 45-60 menit perjalanan untuk k sekolahku. Sebenarnya jika menggunakan motor memangkas waktu lebih banyak, sekitar 15-20 menit. Yasudahlah nikmati saja.
12 tahun lalu, setiap pagi gemilang membuat hati senang dan pikiran cemerlang. Aku menunggu angkutan di depan komplek perumahan. Bersama dengan pelajar lain, commuter Jakarta, dan orang-orang yang akan beraktifitas pagi itu. Biasanya di daerahku seorang supir angkot enggan untuk mengangkut pelajar dengan alasan suka gak bayar atau bayarnya cuma setengah. Namun tidak denganku, karena sudah diberi uang saku berlebih maka kubayar sesuai tarifnya. Walaupun kalo kurang sang abang meneriaki namun jika kelebihan bayar sang abang tidak menunjukkan gigi.
12 tahun lalu, ketika pagi itu menyapa. Aku pikir seperti pagi biasanya, ternyata berbeda. Kutunggu angkot dengan setia, beberapa banyak yang menghindar, karena mengangkut pelajar adalah pilihan terakhir. Hingga ada yang berhenti di hadapanku. Sedikit takjub dan bingung. Aku masukan tubuh dan duduk dengan nyaman di angkot yang masih kosong itu. Hanya ada sekitar 3-4 penumpang kalo tidak salah. Keanehan itu terus berlanjut hingga sang abang berkata sesuatu, "Dek, ini kamu saya angkut. Tapi nanti kalo udah jadi orang gede jangan lupa sama orang kecil ya".
12 tahun lalu, rasanya perkataan itu menjadi hantaman buatku. Aku yang masih polos dan lugu hanya bisa tersenyum. Sebuah tanggung jawab yang berat untuk masa depan yang keluar dengan jujur dari suara hati rakyat kecil. Seluruh penumpang di angkot tersebut menjadi saksi pernyataan supir angkot kepada remaja yang sedang beranjak dewasa. 
12 tahun kau ucapkan perkataan itu namun hingga saat ini masih menempel di pikiran ini seolah tidak mau hilang dan menjadi sebuah amanah yang harus dilakukan. Maaf jika saat ini aku lupa seperti apa rupa wajah engkau wahai abang supir angkot. Karena peristiwa itu terjadi begitu cepat hingga hilang dari ingatan goresan wajahmu. Namun apa yang dikatakan menjadi lebih penting daripada siapa (seperti apa) yang mengetakan.



Bekasi, 02/02/2013



Anak remaja yang telah beranjak dewasa dan sedang membangun bangsa

Categories: , ,

Leave a Reply