Harus Kerja Ya Harus Ikhlas

Oke kita mulai lagi, ngejar postingan terkadang emang gak mutu. Tapi kalo ide gak dituangkan bisa beku. Bisa lupa semua konsep yang ada di kepala. Mari kita mlai.
Ceritanya mau nulis tentang pekerjaan, sederhana sih untuk bertahan manusia harus kerja. Entah ikut sama organisasi dengan berbagai job description yang bernaung di sebuah nama yang disebut perusahaan, bisa juga dengan mandiri dalam berkarya dan menghasilkan sesuatu (baca : entrepreneurs). Apapun caranya jelas manusia membutuhkan berbagai pengakuan dari berbagai masyarakat yang melingkupinya *aduh apa sih? gak ngerti deh*.
Soal babu-mambabu, eh salah. Soal dunia pekerjaan gue rada selektif. Pilihan berdasarkan seberapa gede perusahaannya, seberapa banyak gajinya dan berbagai fasilitas yang ditawarkan, seberapa gede gengsinya kerja di perusahaan seperti itu gak masuk dalam hitungan. Orang tua yang lahir dan berkembang di era dimana hulubalang negara atau istilahnya abdi negara (baca : Pe-En-ES) masih dianggap terhormat dan banyak benefit yang didapatkan jelas menjadi PNS masih diburu banyak orang. Sekalipun dibuka yang mendaftar membludak. 
Secara sederhana gue memilih pekerjaan berdasarkan bidang yang gue suka, bukan milih dulu jurusan gue apa. Jurusan dulu Ilmu Komunikasi, tapi sekarang-sekarang gue gak minat yang namanya kerja di media.  Karena udah tau berbagai kebusukan media terutama TV, makanya gue mundur sebagai antek-antek partai.
TERORET... lalu beginilah kira-kira beberapa kriteria yang gue buat;


  • Gak boleh mengganggu ibadah, kalo menurut gue sih ini kayak alasan dibuat-buat tapi emang penting. Sebagai muslim yang mempunyai kebutuhan sholat sehari lima kali gak boleh ketinggalan. Karena ini merupakan ibadah utama yang akan dihisab pertama kali di akhirat kelak. Selain itu, gue memaknai hal ini sebagai tenaga yang dipakai untuk menghadap yang dipakai gak boleh sisa. Misalnya sisa pulang kantor atau sisa meeting kantor, karena udah jelas salah satu amalan yang paling dicintai Allah adalah sholat tepat waktu menurut hadist. Jadi urusan dunia boleh nomor berapapun tapi tidak urusan komunikasi langsung sama Allah.
  • Gue menempatkan kerja di bank sebagai pilihan terakhir. Kerja di bank sibuknya minta ampun, maklum yang namanya pelayanan publik jadi ya harus bisa siap siaga untuk kerjaan (kerja untuk orang maksudnya). Belum lagi kerja di bank menurut hukum agama kena juga hukum ribanya (riba : bunga, ada dana tambahan yang dibebankan). Mengutip dari sebuah hadist HR. Muslim "Rasulullah mengutuk orang yang mengambil riba, orang yang mewakilkan, orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya." Serem banget kan! apalagi ada pendapat lain yang bilang kalo riba itu seperti makan bangkai saudaranya sendiri. Pernah sih ikut tes bank-bank, mulai dari bank konvensional hingga bank syariah. Tapi bisa gue bilang Alhamdulillah gue gagal semua. Di samping itu kerja di bank apalagi program MDP/ODP semacamnya suka gak manusiawi kontraknya. Paling banter 5 tahun dan kalo berhenti atau resign dari batas waktu yang telah ditentukan ya kena pinalti, salah seorang teman kena pinalti hingga 50 juta karena hal tersebut. Mereka bilangnya sih untuk merancang, mendidik, dan mengembangkan program MDP/ODP sudah keluar biaya banyak.
  • Ketika gue berbicara tentang gadget, IT, telco, fashion, bahasa, dan buku, entah kenapa langsung kepikiran akan buat ini, akan memasarkan kayak begini, akan bikin sesuatu yang WAH. Kata coach Rene Suhardono sih itu yang disebut passion. Senang ketika ngejalaninya dan tanpa ada beban. Walaupun milih pekerjaan gak segampang milih dagangan sayur di pasar, karena itu tadi terlalu selektif sehingga gue merupakan salah seorang yang lama untuk mendapat pekerjaan ampe nyokap gue udah mulai bosen kalo gue ngemeng. Sayangnya sifat selektif ini terkadang ada aja hal yang menghalangi. IPK gue emang tinggi, begitu pula dengan IQ. Mungkin aspek sifat dan karakter yang membuat gue jatuh di setiap tes. YES, I'M PRETENTIOUS SKINNY LITTLE BITCH!
  • Kalo misalnya, karena keadaan atau sudah lamanya gue manganggur dan menjadi beban keluarga. Maka gue rela untuk kerja di bidang yang gue tidak suka sekalipun. Karena gak mau nyusahin orang tua. Asal ada kompensasi, misalnya gue kerja di bidang otomotif atau FMCG yang memang bukan merupakan passion tapi emang kudu kerja. Kompensasinya ya gajinya harus diatas sedikit dari standar S1 (kalo ada fasilitas lainnya, *ngelunjak*). 
Nyari kerjaan layaknya nyari bini, susah-susah gampang (duileh kek pernah kawin aje). Walau hati ini dari yang terdalam masih pengen sekolah lagi untuk meneruskan ke S2, tapi apa daya. Ada suatu perkara dimana sesuatu kita sukai maka belum tentu baik di mata Allah, namun ada sesuatu yang tidak kita sukai namun baik di mata Allah. This is about how I believe and accepted every ruling that made by Allah Izza Wa Zallah. Keterbukaan hati, pikiran yang positif, dan keikhlasan bisa menjadi kunci untuk menerima keputusanNya,

Leave a Reply